Langsung ke konten utama

Mengenang Sang Presiden

 


”Melodia!!!,” teriak seorang lelaki dari luar ruangan.

Sesaat kemudian, ia masuk dengan langkah perlahan melewati sebuah pintu. Tangan kirinya, memegang dua lembar kertas putih bertuliskan larik-larik puisi.

Sorot tajam matanya, menyapu seluruh ruangan. Di sekitarnya, tembok putih terpapar cahaya lampu kekuningan. Panel kayu coklat tua setinggi pinggang orang dewasa, menutup tembok bagian bawah hingga ke lantai.

Puluhan penonton memenuhi deretan kursi, yang disusun meninggi ke belakang seperti di dalam ruangan bioskop.

Sosok lelaki berkacamata bernama M.N Wibowo ini bagaikan magnet, membuat seluruh pasang mata tertuju padanya.

Ia mengenakan jas hujan merah maroon panjang sampai ke mata kaki, sehingga mirip jubah.

Kostum tersebut, dihiasi bercak-bercak cat putih yang tidak rata. Asesoris lain yang dipakainya, yaitu helm standar hitam dengan penutup muka transparan, juga berlumuran cat warna serupa.

Bait demi bait puisi karya Umbu Landu Paranggi berjudul Melodia, dibacanya dengan raut muka ekspresif dan intonasi naik turun.

Tak ada aksi teaterikal yang dilakukannya. Hanya bahasa tubuh sederhana, seperti bergerak ke depan dan ke samping sambil mendongakkan kepala.

Secara bergantian, tatapan matanya menuju ke lembaran kertas dan ke penonton. Lengan kanannya kadang bergerak ke atas sejajar kepala, menyesuaikan lirik puisi yang dibaca.

Sebelum membaca, ia melepas paksa masker hitam penutup mulut dan hidung, dengan menariknya sekuat tenaga ke arah bawah dagunya. Hingga, putuslah karet elastik untuk mengaitkan masker di kedua telinganya.

Ketika mulutnya bergerak dan terbuka untuk memuntahkan kata-kata, terdengar kalimat lantang memenuhi tiap sudut ruangan, meskipun tak menggunakan microphon.                                                               

cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan

baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja

karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu

takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan

rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan. 

 

”Melodia mewakili situasi hari ini,” ucap M.N Wibowo, dalam acara mengenang tujuh hari meninggalnya Umbu Landu Paranggi, di Jogja Library Center Malioboro, 12 April 2021 lalu.

Melalui sebuah penghayatan bait-bait puisi tersebut, ia seperti mendapat kekuatan yang merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga, lelaki yang tinggal di Lereng Merapi ini, punya sebuah daya untuk bertahan di tengah situasi pandemi yang tidak pasti.

Selesai membaca puisi selama beberapa menit, seniman teater yang aktif di sejumlah komunitas ini, langsung beranjak ke pintu untuk keluar ruangan.

Riuh tepuk tangan hadirin, menyertai aksi pamungkasnya melempar kertas ke udara, hingga satu persatu jatuh bertebaran di lantai. ”Terimakasih,” ucapnya singkat saat mengakhiri pentas.

Makna yang Dalam

Kostum khas yang dikenakan lelaki bernama Dewo PLO, begitu menarik perhatian, saat ia membacakan puisi di hadapan seluruh hadirin, yang memadati satu ruangan dalam, di bagian pojok belakang area Jogja Library Center.

Kemeja dan celana kain warna putih yang dipakainya, dipadukan ikat di kepala seperti Udeng khas dari Bali. Namun warna itu begitu kontras, dengan yang dikenakan sang pemetik gitar.

Musisi balada bernama Heri Samsara, nampak menggunakan setelan kaos dan celana kain hitam. Termasuk kain syal sebagai ikat kepala, dengan kombinasi warna merah dan hitam.

Tetapi, perpaduan keduanya mampu menampilkan daya tarik tersendiri bahkan menghibur, meski nada yang terdengar dari genjrengan gitar Heri memunculkan suasana sendu.

Sangat tidak mudah menafsirkan puisi karya Umbu, apalagi jika diaransemen dalam bentuk musikalisasi sastra.                                                

sisa sampah debu revolusi

sapu dan lego dalam seni

di ibu kota kata sendi kata

si tua muda yogyakarta

(yogya sudah lama kembali)

kembalilah ke yogyakarta

cemara tujuh denyar puisi

 

tujuh cemara

di jantung Yogyakarta

barisan rindudendam menghela anginmu

terjaring di kampus tua

tertanam cinta terdera

di surut hari mencari 

debar puisi di hati 

 

tujuh gelandangan

(buah asam malioboro)

memanggul gitar nembakkan syair lagu

mentari jalanan bulan lorong kumuh

antara kampung kampus, gubuk gedongan

singsing singsing fajar lenganmu

prosesi tugu pasar alun-alun

bongkar pasang dadadadamu

kang becak andong muatan perkasa

kilatan raut pasi berpeluh debu

ciumlah bumi yang nerbitkan sayangmu 

nyelamlah lubuk urat nadi hayatmu 

 

tujuh gunung seribu yogya

seribu tarian gang malioboro

tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo

(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)

tumpukan hijau restu sanubari jelata

sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati

hulubalang benih ilham di siang malammu

 

tujuh cemara gelandang

tujuh gunung seribu saksi tak bisu

gelaran tak sunyi gusargusur kakilima

bentangan dukacita langit sukma

manggang biji mata di kawah candradimuka

tak kau dengar keliling kidung sembilu

meronda dan menggedor mimpi mimpi igaumu

(tak kau ingat peta rute juang gerilya

gercik darah tumpah meriba pertiwi)

di bawah jam kota tujuh pengemis tua

bertumpu seperti mendoakan kita semua

di bawah tapak sudirman kami mangkal malam-malam ini

 

sisa sampah debu revolusi

sapu dan lego dalam seni

di ibu kota kata sendi kata

(yogya sudah lama kembali)

kembalilah ke yogyakarta

cemara tujuh denyar puisi

 

tujuh cemara

di jantung yogyakarta

barisan rindudendam menghela anginmu

terjaring di kampus tua

tertanam cinta terdera

di surut hari mencari

debar puisi di hati

 

Puisi ini bercerita tentang kondisi Yogyakarta, yang ditinggal pergi beberapa penghuninya. Si pengarangnya ingin mengajak siapapun yang pergi, untuk pulang kembali mengobati rasa kangen.

Dewo dan Heri, butuh waktu dua hari membuat aransemen musik, sebelum hasilnya dipentaskan dalam musik balada bernada minor.

”Sangat bagus dan sangat istimewa,” kata Heri karena puisi ini menggambarkan situasi riil di Malioboro sebagai pusat ekonomi.

Perlu kerja keras bagi keduanya, memahami kata demi kata dalam puisi Tujuh Cemara, untuk diselaraskan dengan nada-nada gitar. Misalkan kata kiasan denyar puisi, yang cukup susah diartikan.

”Jadi kita harus mencoba memasukkan roh Umbu ke diri kita dan disalurkan lewat kata dan nada,” katanya.

Jejak PSK

Nama besar Umbu Landu Paranggi sangat lekat dengan Malioboro. Penyair ini, merupakan inisiator berdirinya Persada Studi Klub (PSK) sekitar tahun 1968.

Komunitas yang dibentuknya, merupakan tempat berkumpul dan berdialog para penulis muda waktu itu, seperti Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati dan masih banyak lagi.

Saat PSK diririkan, Paranggi telah menjadi redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya, di tempat yang sekarang menjadi bangunan Jogja Library Center.

Oleh rekan-rekannya, Almarhum yang meninggal di Bali tanggal 6 April 2021 itu, dijuluki Presiden Malioboro.

”Masyarakat Jogja harus memberi penghormatan untuk Umbu,” kata Sigit Sugito, penggagas acara mengenang tujuh hari meninggalnya Umbu Landu Paranggi.

Hal ini menjadi penting, karena atmosfer Malioboro tidak akan seperti sekarang ini jika tidak ada almarhum, yang berani meletakkan puisi di tengah hiruk pikuk pusat bisnis tersebut, ketika hanya fokus ke uang saja.

Sehingga inilah sebuah oase yang luar biasa, dan menjadi pencerah bagi para pecinta puisi di Yogyakarta. Maka, muncul usulan agar Jogja Library Center dijadikan museum sastra, untuk menandai titik awal munculnya gerakan puisi.

Termasuk menjadikan pedestrian sepanjang Malioboro di sisi barat sebagai Selasar Umbu. Lokasi itu, pernah menjadi tempat komunitas PSK berkegiatan. ”Kita akan dialog dengan DPRD dan Gubernur agar keinginan kita terfasilitasi,” katanya.    


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Kopi, Bagian 2

  Bisa dibilang penyair itu pencuri kata-kata yang ulung, sehingga membuat kita terlena, saat membaca rangkaian kalimat-kalimat puitis nan indah. Seperti halnya puisi-puisi tentang kopi karya Joko Pinurbo, yang diakuinya hasil ”mencuri” dari kitab suci. ”Jadi menulis itu kan mencuri, hanya tekniknya harus canggih supaya pembaca tidak tahu bahwa itu curian,” ungkap penyair yang akrab disapa Jokpin, saat berbicara di acara kopi sering Jogja Coffee Week 2019. Bahkan ungkapnya, penyair Sapardi Joko Damono pernah mengatakan jika menulis itu mencuri, dan mencurilah sebanyak-banyaknya supaya tidak ketahuan, dan teknik mencurinya harus halus. Bagi Jokpin yang sudah terlatih ”mencuri”, banyak pembaca tidak menangkap kandungan ayat-ayat dalam puisi yang ditulisnya. ”Karena saya sudah terlatih mencuri jadi tidak kelihatan,” katanya sembari membacakan salah satu kutipan puisinya berjudul kopi tubruk, yang tentunya sangat menarik untuk disimak. ” Dilarang ngopi sa...

Joko Pinurbo dan Kopi, Bagian 1

Salah satu penyair terkemuka Indonesia, yaitu Joko Pinurbo, begitu identik dengan kopi. Bahkan, salah satu antologi puisi karyanya yaitu surat kopi, judulnya sama persis dengan salah satu puisi di dalamnya. Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi , inilah penggalan yang sangat puitis dan indah, yang diambil dari paragraf pertama puisi surat kopi. Dalam sesi kopi sering acara Jogja Coffee Week di Jogja Expo Center, Rabu (7/8/2019) malam, penyair yang akrab dipanggil Jokpin ini menyebut, jika namanya sudah mengandung kata kopi, Jo(Kopi)Nurbo. ”Nama saya mengandung kopi, dan itu juga saya tulis dalam salah satu puisi saya,” katanya. Kopi tidak sekedar membuatnya jatuh cinta, bahkan sebelum menikmati minuman ini, ia memperoleh nilai magis. Secara sastra, kata kopi mengandung nilai sugestif, memunculkan sebuah kekuatan dan semangat untuknya, agar terus produktif dalam berkarya. Maka ritual ngopi menjadi penegasan dari sebuah daya...