Langsung ke konten utama

Joko Pinurbo dan Kopi, Bagian 1



Salah satu penyair terkemuka Indonesia, yaitu Joko Pinurbo, begitu identik dengan kopi. Bahkan, salah satu antologi puisi karyanya yaitu surat kopi, judulnya sama persis dengan salah satu puisi di dalamnya.

Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi, inilah penggalan yang sangat puitis dan indah, yang diambil dari paragraf pertama puisi surat kopi.


Dalam sesi kopi sering acara Jogja Coffee Week di Jogja Expo Center, Rabu (7/8/2019) malam, penyair yang akrab dipanggil Jokpin ini menyebut, jika namanya sudah mengandung kata kopi, Jo(Kopi)Nurbo.

”Nama saya mengandung kopi, dan itu juga saya tulis dalam salah satu puisi saya,” katanya.

Kopi tidak sekedar membuatnya jatuh cinta, bahkan sebelum menikmati minuman ini, ia memperoleh nilai magis. Secara sastra, kata kopi mengandung nilai sugestif, memunculkan sebuah kekuatan dan semangat untuknya, agar terus produktif dalam berkarya.

Maka ritual ngopi menjadi penegasan dari sebuah daya magis kopi, yang sudah tertanam di kepalanya. Jika ia sulit mencari ide saat lembur menulis, maka seketika dalam pikirannya muncul kata kopi, semangatnya akan bangkit kembali dan tidak jadi ngantuk.

”Setelah itu saya bikin kopi beneran,” ungkap Jokpin, yang menganggap kopi punya pengaruh besar terhadap aktivitas kepenulisannya.


Seperti halnya ucapan yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer, yaitu harus berlaku adil sejak dalam pikiran, maka Joko Pinurbo sudah minum kopi sejak dalam pikiran. Ketika ia sangat bernafsu menulis, bercangkir-cangkir kopi bisa dihabiskannya, sekedar untuk memikirkan satu atau dua kata.

”Saya tidak membayangkan menulis tanpa kopi, kalau saya pergi ke luar kota jauh, maka yang saya rindukan pertama kali, saya pengen segera pulang dan minum kopi,” ucapnya.


Mengoplos atau mencampur berbagai jenis kopi, menjadi sebuah kebiasaan yang disebutnya anti diskriminasi. Ia tak pernah memilih merk tertentu untuk dinikmati, karena enak tidaknya rasa kopi, sepenuhnya ditentukan oleh lidah, bukan dari kemasannya.

Dan secara kebetulan, oleh teman-temannya ia sering diberi hadiah kopi gratis dari berbagai daerah, sehingga kegiatan memadukan berbagai jenis kopi tak bisa terelakkan lagi.

”Misalkan kopi gayo saya oplos dengan kopi toraja, ini supaya adil semua saya seduh dan saya campur, ternyata rasanya asyik juga seperti mengoplos kata-kata,” ungkapnya. (WS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Joko Pinurbo dan Kopi, Bagian 2

  Bisa dibilang penyair itu pencuri kata-kata yang ulung, sehingga membuat kita terlena, saat membaca rangkaian kalimat-kalimat puitis nan indah. Seperti halnya puisi-puisi tentang kopi karya Joko Pinurbo, yang diakuinya hasil ”mencuri” dari kitab suci. ”Jadi menulis itu kan mencuri, hanya tekniknya harus canggih supaya pembaca tidak tahu bahwa itu curian,” ungkap penyair yang akrab disapa Jokpin, saat berbicara di acara kopi sering Jogja Coffee Week 2019. Bahkan ungkapnya, penyair Sapardi Joko Damono pernah mengatakan jika menulis itu mencuri, dan mencurilah sebanyak-banyaknya supaya tidak ketahuan, dan teknik mencurinya harus halus. Bagi Jokpin yang sudah terlatih ”mencuri”, banyak pembaca tidak menangkap kandungan ayat-ayat dalam puisi yang ditulisnya. ”Karena saya sudah terlatih mencuri jadi tidak kelihatan,” katanya sembari membacakan salah satu kutipan puisinya berjudul kopi tubruk, yang tentunya sangat menarik untuk disimak. ” Dilarang ngopi sa...

Mengenang Sang Presiden

  ”Melodia!!!,” teriak seorang lelaki dari luar ruangan. Sesaat kemudian, ia masuk dengan langkah perlahan melewati sebuah pintu. Tangan kirinya, memegang dua lembar kertas putih bertuliskan larik-larik puisi. Sorot tajam matanya, menyapu seluruh ruangan. Di sekitarnya, tembok putih terpapar cahaya lampu kekuningan. Panel kayu coklat tua setinggi pinggang orang dewasa, menutup tembok bagian bawah hingga ke lantai. Puluhan penonton memenuhi deretan kursi, yang disusun meninggi ke belakang seperti di dalam ruangan bioskop. Sosok lelaki berkacamata bernama M.N Wibowo ini bagaikan magnet, membuat seluruh pasang mata tertuju padanya. Ia mengenakan jas hujan merah maroon panjang sampai ke mata kaki, sehingga mirip jubah. Kostum tersebut, dihiasi bercak-bercak cat putih yang tidak rata. Asesoris lain yang dipakainya, yaitu helm standar hitam dengan penutup muka transparan, juga berlumuran cat warna serupa. Bait demi bait puisi karya Umbu Landu Paranggi berjudul Melodia, di...